Demikian ditegaskan oleh Samahatus Syaikh Abdul Aziz bin Baz dan Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani. (Majmu’ Fatawa Ibnu Baz 5/425, Al-Muru’ah wa Khowarimuha 205, Syaikh Masyhur bin Hasan Salman).
عَنْ رِفَاعَةَ بْنِ رَافِعٍ أَنَّ النَّبِيَّ سُئِلَ : أَيُّ الْكَسْبِ أَطْيَبُ؟ قَالَ : عَمَلُ الرَّجُلِ بِيَدِهِ وَكُلُّ بَيْعٍ مَبْرُوْرٍ
Dari Rifa’ah bin Rafi’ bahwasanya Nabi pernah ditanya: Pekerjaan apakah yang paling baik? Beliau menjawab: “Pekerjaan seorang dengan tangannya sendiri dan setiap perdagangan yang baik.” (Shahih li Ghairihi. Riwayat Al-Bazzar sebagaimana dalam Kasyful Astar 2/83/1257)عَنِ الْمِقْدَامِ عَنِ النَّبِيِّ قَالَ : مَا أَكَلَ أَحَدٌ طَعَامًا خَيْرًا مِنْ أَنْ يَأْكُلَ مِنْ عَمَلِ يَدِهِ, وَإِنَّ نَبِيَّ اللهِ دَاوُدَ كَانَ يَأْكُلُ مِنْ عَمَلِ يَدِهِ
Dari Miqdam dari Nabi bahwa beliau bersabda: “Tidaklah seorang memakan makanan yang lebih baik daripada makanan dari hasil tangannya sendiri, dan adalah Nabiyullah Dawud makan dari hasil pekerjaannya sendiri.” (HR. Bukhari 2076)(2). Dan juga berdasarkan kaidah berharga “Asal dalam muamalat adalah boleh dan halal.”
Oleh karenanya, apabila kita membaca sirah para sahabat, niscaya akan kita dapati bahwa mereka berbeda-beda pekerjaannya, ada yang menjadi pedagang, petani, tukang kayu, tukang besi, tukang sepatu, penjahit baju, pembuat roti, pengembala, buruh dan seabrek pekerjaan lainnya.
(3). Ketahuilah bahwa Syari’at membagi pekerjaan menjadi dua macam:
• Pekerjaan haram, seperti bekerja sebagai penyanyi, dukun, penjual khamr, pekerja di bank riba, pelacur, pencuri dan sejenisnya dari pekerjaan-pekerjaan yang dilarang oleh syari’at Islam.
• Pekerjaan mubah, contohnya banyak sekali, hanya saja sebagian ulama meneyebutkan bahwa “Pokok pekerjaan itu ada tiga: Tani, dagang, industri.” (Al-Hawi Al-Kabir 19/180, Al-Mardawi).
Syaikh Masyhur bin Hasan menambahkan: “Dan diantara pokok pekerjaan pada zaman kita sekarang -selain tiga di atas- adalah bekerja sebagai “pegawai” dengan aneka macamnya. Hanya saja terkadang sebagiannya bercampur dengan hal-hal yang haram atau makruh tergantung keadaan jenis pekerjaan itu sendiri. Para pekerjanya secara umum banyak mengeluh dari kurangnya barakah. Di samping itu, pekerjaan ini juga menimbulkan dampak negatif bagi mayoritas pegawai, di antaranya:
1. Kurangnya tawakkal kepada Allah dalam rezeki.
2. Banyaknya korupsi dan suap.
3. Malas dalam bekerja dan kurang perhatian.
4. Sangat ambisi dengan gajian akhir bulan.
5. Banyaknya sifat nifaq di depan atasan.” (Lihat Al-Muru’ah wa Khowarimuha hal. 193-206).
(4). Bekerja sebagai pegawai negeri -sebagaimana pekerjaan secara umum- diperinci menjadi dua:
1. Apabila pekerjaan tersebut tidak ada kaitannya dengan perkara-perkara haram, maka hukumnya boleh, bahkan bisa jadi dianjurkan
.
2. Apabila pekerjaan tersebut berhubungan dengan perkara-perkara haram seperti pajak, pariwisata haram, bank ribawi dan sejenisnya, maka hukum kerjanya juga haram, karena itu termasuk tolong-menolong dalam kejelekan yang jelas diharamkan dalaml Islam.
وَتَعَاوَنُوْا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلاَ تَعَاوَنُوْا عَلَى الإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ وَاتَّقُوْا اللهَ إِنَّ اللهَ شَدِيْدُ الْعِقَابِ
“Dan tolong menolonglah dalam kebaikan dan taqwa, dan jangan tolong menolong dalam dosa dan pelanggaran. Dan bertaqawalah kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.” (Qs. Al-Maidah: 2)
عَنْ جَابِرٍ قَالَ : لَعَنَ رَسُوْلُ اللهِ آكِلَ الرِّبَا وَمُوْكِلَهُ وَكَاتِبَهُ وَشَاهِدَيْهِ وَقَالَ : هُمْ سَوَاءٌ
Dari Jabir berkata: “Rasulullah melaknat pemakan riba, pemberinya, sekretarisnya dan dua saksinya.” Dan beliau bersabda: ‘Semuanya sama.’” (HR. Muslim: 1598)B. Hukum Gaji Dari Pemerintah
Gaji pegawai negeri tergantung kepada pekerjaan itu sendiri:
1. Apabila dari pekerjaan yang haram, maka gajinya juga haram.
Nabi bersabda:
إِنَّ اللهَ إِذَا حَرَّمَ شَيْئًا حَرَّمَ ثَمَنَهُ
“Sesungguhnya Allah apabila mengharamkan sesuatu, maka Dia mengharamkan pula hasil (upahnya).” (HR. Ahmad 1/247, 293 dan Abu Dawud 3488 dan dishahihkan Ibnu Qayyim dalam Zadul Ma’ad 5/661)عَنْ أَبِيْ مَسْعُوْدِ الأَنْصَارِيِّ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ نَهَى عَنْ ثَمَنِ الْكَلْبِ وَمَهْرِ الْبَغِيِّ وَحُلْوَانِ الْكَاهِنِ
“Dari Abu Mas’ud Al-Anshari bahwasanya Rasulullah melarang dari uang hasil jual anjing, mahar (upah) pelacur dan upah dukun.” (HR. Bukhari 2237 dan Muslim 3985)2. Apabila gajinya dari pekerjaan yang halal, maka gajinya juga halal, sekalipun sumber dana pemerintah yang digunakan sebagai gaji tersebut bercampur antara halal dengan haram, selagi dia tidak mengetahui bahwa uang gaji yang dia terima jelas-jelas haram.
Lebih jelasnya, masalah ini dibangun di atas beberapa kaidah:
(1). Asal segala sesuatu adalah halal.
Kaidah agung ini berdasarkan dalil-dalil yang banyak sekali dari Al-Qur’an dan sunnah. Sumber dana pemerintah yang bercampur antara halal, haram dan syubhat, selagi tidak diketahui secara pasti bahwa uang yang dia terima adalah uang haram maka termasuk dalam kaidah ini. Patokan masalah ini tergantung pada keyakinan hati, bukan pada kenyataan perkara, artinya jika dia mengambil uang gaji tersebut yang kenyataannya adalah tidak halal tetapi dia tidak mengetahuinya maka hukumnya boleh.
Para ulama ahli fiqih menyebutkan bahwa harta yang di tangan para pencuri, atau titipan dan pergadaian yang tidak diketahui pemiliknya apabila tidak mungkin untuk dikembalikan kepada pemiliknya maka wajib dishodaqohkan atau diberikan ke baitul mal, dan harta tersebut bagi orang yang diberi shodaqoh adalah halal, padahal telah dimaklumi bersama bahwa harta tersebut adalah jelas-jelas milik orang lain yang tidak bisa dikembalikan kepada pemiliknya. Jika harta tersebut saja halal, maka harta yang tidak diketahui keadaannya dan tidak dipastikan kejelasannya tentu saja lebih jelas kehalalannya.
(2). Agama Islam dibangun di atas kemaslahatan dan membendung kerusakan.
Dana pemerintah tersebut pasti diberikan, mungkin diberikan kepada orang yang tidak berhak menerimanya, atau kepada orang yang berhak menerimanya, dan tentu saja yang kedua ini lebih berhak menerimanya. Seandainya ahli agama yang berhak menerimanya tidak mau menerima uang dari dana pemerintah tersebut lalu diambil oleh orang yang tidak berhak menerimanya, maka akan terjadi kerusakan yang banyak sekali dan akan terhambat kemaslahatan yang banyak, padahal syari’at Islam dibangun di atas kemaslahatan dan menghilangkan kerusakan.(Lihat Al-Ajwibah As-Sa’diyyah ‘anil Masaail Al-Kuwaitiyyah hal. 163-164 oleh Syaikh Abdur Rahman As-Sa’di, tahqiq Dr. Walid bin Abdillah).
(3). Rasulullah menerima hadiah dan memenuhi undangan makanan dari Yahudi, padahal kita tahu semua bahwa Yahudi memakan uang dengan bathil dari riba dan lain sebagainya.
Lantas bagaimana kiranya hukum menerimanya dari seorang muslim?! Jelas lebih halal.
.:: Sumber: Ustadz Abu Ubaidah Yusuf As-Sidawi ::.
0 komentar:
Posting Komentar